Friday, September 16, 2005

HARI INI AKU TUTUP BUKU.

Capek...

Monday, June 13, 2005

Kepanikan di Tengah Hari

13 Juni 2005 14.14

MET>> Halo Rey.. pa kabar? Gw menuju office kamue, ketemuan doank...

13 Juni 2005 14.19
RMS>> Bo, gue mau internal meeting neh…

13 Juni 2005 14.21
MET>> Mmhh sombong.. Only 5 mnt Rey.. gw mo liat lo, boleh?

RMS>> blank

13 Juni 2005 14.43
MET>> Rey, gue di lobi AC Nielsen neh.. Mo ketemu Pak Ishak, lo pura2 ke toilet geh

RMS>> blank



Tidak. Aku tidak akan lagi membalas sms-sms aneh itu.
Bukan. Aku bukan pelit (ya, walaupun mungkin pengiritan menjadi alasan utamaku...).
Aku hanya enggan. (Atau takut?)
Lagipula, kenapa aku harus menjawab?
Aku kan tidak berhutang apapun kepadanya.
Tidak ada janji-janji surga yang kuhembuskan kepadanya untuk akan menyambut setiap ajakan pertemuan dengannya.

Ya.
Aku takut.
Takut kalau kali ini ia benar-benar melanggar etika.
Takut kalau kali ini ia benar-benar akan mengganggu hubunganku.
Takut kalau kali ini ia mulai berani menunjukkan apa yang selalu selama ini dikatakannya kepadaku, (dalam canda ataupun serius), bahwa mungkin ia ada maksud denganku.

Ya.
Aku malas.
Malas berhubungan dengan orang yang tidak aku suka.
Malas berbasa-basi dengan orang yang tidak menyenangkan.
Malas berbincang-bincang ngalor ngidul pura-pura menikmati percakapan kami padahal sesungguhnya aku tidak sabar untuk apapun bentuk interupsi yang mungkin datang, dan saat interupsi itu datang aku akan berkata ”Sori nih, tapi gue harus buru-buru. Sori ya.”

Untung saja aku tidak harus dihadapkan pada hal ini setiap hari.


Tuhan, maafkan aku.
Bukan maksud hati aku memutuskan tali silaturahmi, apapun itu.
Tapi aku hanya tidak ingin menempuh hal ini sekarang.

Aku hanya ingin menikmati perjalananku.
Dan ia tidak masuk dalam agendaku.

Thursday, April 14, 2005

Panti-Panti

“BLAM!”

Tembokku bergetar lagi.
Terdengar dengung-dengung pelan.
Ada pergulatan seru lagi di ruang sebelah. Bosan.

Ya, aku tak bisa protes. Aku bisu. Dan pincang pula.
Tapi hanya karena aku bisu bukan berarti aku tuli kan?
(Mengapa semua orang menyangka kalau kita bisu pasti kita tuli juga?)
Sungguh menyebalkan mendengarkan keributan, pertengkaran sengit, dan tak mampu berbuat apa-apa untuk menyudahinya.
Untuk mengatakan kepada kedua belah pihak ”DIAMMM!!!!! Jangan rusak pagiku!”

Entah.
Di Panti ”Krama” ini semuanya terbalik.
Yang seharusnya disebutkan sebagai pusat untuk ber”tata krama”, ternyata sama sekali tidak menjunjung tinggi apa yang dipropagandakannya.
Yang seharusnya menjadi pengelola tidak menjalankan perannya dengan baik.
Yang menjadi penyandang dana tidak mampu (atau tidak mau?) membantu membuat keputusan pelik.
Anggota Panti yang lain? Masing-masing sibuk dengan aktivitas di Panti masing-masing.

Sambil tertatih-tatih aku berjalan keluar. Bersiap-siap.
Kututup pintu Panti ”Krama” pelan-pelan.
Ya, hari ini, seperti hari-hari lainnya, aku pergi ke Panti ”Karya”.

Sepi.
Ya, di sini sepi.
Tidak seperti di Panti ”Krama”.

Saking sepinya aku sampai ketakutan sendiri.

Rekan-rekan sejawat, senasib dan sepenanggungan sudah berkeliaran.
Bunyi ketuk palu, bunyi las, bunyi roda-roda berdecit.
Ramai memang. Tapi suasana tidak hidup.
Tidak seperti seharusnya.

Rekan-rekan sudah mulai berdatangan.
Ada yang mencicit, tapi kebanyakan hanya mengangguk.
Ya, mereka senasib denganku.
Bisu.
Dan pincang.
Bahkan ada pula yang jereng.
Yang agak tidak bisu ternyata bibirnya sumbing. Jadi apa yang diomongkannya serba tidak jelas.
Iya.
Kami semua sama.
Dan Panti ”Karya” inilah yang sanggup menampung kami.

Ya, mungkin juga karena pengelolanya merasa senasib dengan kami.
Tidak, ia tidak jereng.
Tidak pula pincang.
Apalagi bisu.
Tapi ia tuli.

Entah bawaan dari lahir, atau kotoran menahun yang tidak dibersihkan dan menebal terus yang membuatnya tuli seperti itu.
Yang jelas, sehari-hari kami berkarya setengah hati.

Ya, bagaimana tidak?
Satu-satunya bahasa yang kami ketahui dan kami gunakan tidak diketahui oleh pengelola Panti.
Akibatnya, sering terjadi kesalahpahaman.
Ya, kesalahpahaman adalah nama populer di sini.

Lebih lagi karena si pengelola bukan seorang yang, ya... bisa dibilang tercerdik diantara lainnya, tapi dia menjadi pengelola karena dialah satu-satunya yang sanggup bicara.
Sayangnya, kesanggupan bicara itu tidak didukung oleh kesanggupan berpikir.

Jadi?
Klop lah.

Si Tuli Bodoh yang memimpin kaum bisu, pincang, dan jereng.



Aku kembali menekur ukiranku.
Belakangan ini ukiranku tak lagi masuk hitungan.
Sulit dijual juga, katanya.
Padahal hari-hari sebelumnya aku selalu bisa menghasilkan masterpiece demi masterpiece.
Mungkin sedang tidak produktif saja, aku selalu menghibur diriku.
Bagaimanapun juga, di saat sedang prima, aku mampu menghasilkan lebih dari 3 ukiran renik dalam seminggu! Lumayan kan?

Si Tuli Bodoh kembali menggangguku.
Dan yang lain juga tentunya.
Entah kapan kursi panas itu akan menjadi terlalu panas baginya, sampai-sampai ia tidak tahan lagi duduk di sana, dan akhirnya mau lengser.
Dan mungkin salah satu dari yang agak lumayan bisa bicara bisa segera menggantikannya.

Tapi kapan itu terjadi, entah sampai harus berapa garis keturunan hal itu terjadi.



Panti ”Krama” dan Panti ”Karya”.
Keduanya punya surga dan neraka sendiri.
Sedangkan aku?
Aku berada di tengah-tengahnya.

Entah sampai kapan.

Thursday, March 31, 2005

Bingung...

Ini sudah hampir tengah malam.
Aku masih saja belum ngantuk.
Well, sebenarnya sih, udah lumayan merem melek juga, tapi aku paksain untuk bertahan. After all, ngantuk itu, just like happiness, is a state of mind.
Jadi kalau aku bodohi otakku sendiri bahwa aku masih segar bugar, rasanya mungkin lama-lama akan berhasil juga.


Anyway,

Tadi sore aku sempat liat-liat blog temen-temen SMA dan kuliah dulu.
Not by reference sih, tapi dua-duanya bikin blog di Friendster and I just looked them up.
Really really really interesting.

Aku sampai bilang sama DD: “Wah, abis baca blog lo gue jadi terintimidasi nih. Padahal gue bercita-cita jadi penulis…”
Trus aku bilang juga sama TS: “Hmm, tulisan lo bagus. Somehow your style reminds me a lot of Novita Estiti’s.”


Ya,
Dan sekarang aku memberanikan diri menulis lagi (setelah berminggu-minggu rasanya aku absen dari dunia per-blog-an).

Agak kaku-kaku sedikit.
Tapi ya, namanya juga usaha.


Anyway,

Membaca tulisan teman-teman benar-benar membuatku berpikir.
Apa semua penulis itu depressed?
Atau kebalikannya?
Apa semua orang depressed itu akan beralih profesi menjadi penulis?

Entahlah.

Bahkan aku sendiri tidak tau perasaanku sekarang, other than beberapa hari lalu aku teriakkan “Geronimo!!!”.
So?

Apa yang akan terjadi pada kehidupanku masih tanda tanya besar.
Besar sekali.
Saking banyaknya tanda tanya tanda tanya kecil yang merge jadi satu, dan berhimpit-himpit, berdesak-desak, memaksakan untuk jadi satu barisan.

Ya, hidupku masih merupakan sebuah tanda tanya besar.
Soal percintaan (masih belum beres juga nih?), soal karir, soal cita-cita, soal teman-teman. Soal kebahagiaan.

Jawabannya masih menggantung.
Saking tingginya gantungannya aku sampai tidak bisa melihatnya dengan jelas.


Sigh…
Anyways…
Enjoy it while it lasts…

Sunday, March 13, 2005

Robots

You can shine no matter what you’re made of...
(Mr. Bigweld dalam “Robots”)


From the creator of Ice Age:
Robots
Ewan McGregor, Halle Berry, Greg Kinnear, Mel Brooks, Amanda Bynes, Drew Carrey, dan Robin Williams


Rodney Copperbottom (Ewan McGregor) adalah seorang anak robot yang dibesarkan di sebuah keluarga kecil. Ayahnya adalah seorang pencuci piring di sebuah restoran di Rivet Town. Hidupnya sebagai anak pencuci piring cukup sederhana.
Namun suatu hari, saat Rodney sedang menonton televisi bersama sang ayah, tokoh idola kebanggaannya muncul. Ia adalah Mr.Bigweld. Bagi Rodney, Mr. Bigweld adalah robot terhebat, kedua setelah sang ayah. Dan Mr.Bigweld adalah seorang penemu hebat yang juga seorang founder Bigweld Corporation, perusahaan terbesar di Robot City.

Mr.Bigweld bicara kepada Rodney lewat kotak televisinya, dan Mr.Bigweld menginspirasi Rodney untuk terus mencipta. Sejak hari itu, walaupun Rodney selalu harus memakai barang bekas dari sepupunya, ia tidak pernah kecewa. Sebaliknya, ia tetap selalu bersemangat, dan bahkan, ia telah berhasil menciptakan sebuah karya hebat, Wonderbot, selagi ia masih remaja.

Memenuhi panggilan hatinya, Rodney memutuskan untuk hijrah ke kota besar, Robot City, di mana semuanya bisa terjadi. Rodney bertekad untuk bekerja kepada Mr.Bigweld.
Tapi tak seperti dugaannya, Rodney tidak menemukan impiannya di sana, melainkan ia menyaksikan bahwa Bigweld Corporation, perusahaan idamannya itu, telah diubah oleh penerus Mr.Bigweld, Ratchet, menjadi perusahaan yang mengeruk keuntungan besar dengan memeras robot-robot di kota itu.
Keuntungan besar tersebut didapatkan dari memaksa robot-robot miskin untuk melakukan upgrade dengan tidak lagi memproduksi spare parts untuk mengganti bagian-bagian tubuh yang rusak ataupun hilang. Dan bagi robot-robot yang tidak mampu melakukan upgrade, Ratchet akan memerintahkan untuk robot tersebut dijadikan besi tua. Perusahaan tersebut kini telah menjadi mesin pembunuh robot.

Singkat kata, Rodney menolak menerima kenyataan ini, dan ia meyakinkan teman-temannya untuk menemui Mr.Bigweld dan membujuknya untuk kembali memimpin perusahaan tersebut, untuk menyelamatkan para robot.


Saya suka sekali film ini.
Action-nya.
Drama-nya. (Mungkin karena saya memang selalu menyukai film animasi...)
Kebaikan menang melawan kejahatan.
Kebaikan yang adalah orang-orang miskin. Yang tidak berdaya.
Kejahatan yang adalah orang-orang berkuasa.

Mungkin ini adalah bagaimana sesungguhnya kehidupan nyata berjalan.

Namun, kadang kehidupan nyata kurang inspiratif, tidak seperti layaknya film-film animasi. Dalam kehidupan nyata, penguasa akan tetap pada posisinya. Mereka tidak akan bergerak, dan orang-orang biasa akan tetap berdiri di belakang ruangan, terpojok, dan tidak berani, tidak kuasa menjawab apalagi menentang sang penguasa berjas.

Terkadang, dalam kehidupan nyata, sang ikon, seseorang yang memberikan inspirasi bagi orang banyak, seseorang yang mampu dan mau mendengarkan, dan mengutamakan kepentingan orang lain daripada kepentingannya sendiri, terasing. Atau diasingkan? Atau bahkan, dihilangkan. Karena begitu orang-orang kecil mulai bersatu dan bergerak, penguasa tidak akan sanggup untuk tetap bertahan di tahtanya. Dan mereka takut. Dan cara terbaik untuk menyembunyikannya adalah dengan membungkam semua orang.

Di dalam film Robots, bahkan robot-robot yang kumal pun dapat membuat perbedaan, dan tampil cemerlang. Namun, mengapa hal-nya berbeda dalam kehidupan nyata?
Ya, mungkin ada satu atau beberapa orang yang benar-benar “diberkati” yang bisa berhasil.
Namun terkadang hidup ini memihak. Terkadang hidup tampak memihak mereka-mereka yang beruntung. Dan hanya segelintir orang saja yang bukan berasal dari latar belakang yang gemerlap yang bisa berhasil menjadi “orang”.

Ini mungkin karena…
Hidup ini keras.
Hidup ini kejam.
Hidup ini bukan film animasi.

Tapi hidup ini nyata.
Dan satu-satunya cara kita bisa bertahan dalam segala kekejamannya adalah dengan menjadi apapun yang kita inginkan, dengan memberikan yang terbaik dari diri kita sendiri.
Dan karenanya, mungkin, kita akan mendapatkan yang terbaik.

Dan lalu mungkin, kita bisa bersinar.
Dan seperti kata Mr.Bigweld, kita bisa menjadi “seseorang”.
Apapun, dan siapapun kita sebenarnya.

Saturday, March 12, 2005

Kompromi?

Friday, 11 Maret 2005
“Hey Ta… Akhirnya gue jadian sama dia.”
“Waaahhh, selamat yaa… Wah, berarti hari Senin kita makan enak nih, hehehe…”
“Yah… Tapi gue nggak tau apa gue harus seneng atau sedih.”
“Umm, kok? Kenapa?”


Saturday, 12 Maret 2005
“Hey Ta, lagi ngapain lo?”
“Hehehe, jalan aja di Mal Kelapa Gading, ditraktir makan nihh… Knapa?”
“Umm, kayaknya gue udah putus deh, kayaknya dia nggak bisa nerusin hubungan ini.”
“WHAT??!?! Serius lo?”



Percakapan itu berlangsung singkat.
Tapi bagi Oji mungkin percakapan tadi berjalan berabad-abad lamanya.

Oji teman sekantorku, wanita Jawa Islam. Dan Swang Heng, pria yang dimaksud itu, seorang pria Cina Katolik.
Mereka bertemu di kantor. Tempat paling heterogen dan liberal. Tempat di mana perbedaan tidak menjadi masalah.

Oji kenal Swang Heng cukup intensif, walau mereka baru saling mengenal beberapa waktu belakangan ini. Walaupun saling berbeda, mereka sangat compatible.
Ya, wajar. Karena si pria sudah seumurku, 4 tahun lebih tua daripada si Oji sendiri.

Hari Jumat itu Oji menelponku hanya untuk bercerita tentang moments of truth-nya. Entah kenapa, Oji selalu mengatakan kalau dia ragu akan keputusan mereka.
Apakah mereka terlalu terburu-buru?
Keputusan akhir adalah, mereka akan mencoba menjembatani perbedaan prinsipil tadi.
Dan aku bisa tertawa-tawa mendengar cerita Oji.

Namun hari ini beda.
Dia hanya bilang, ternyata Swang Heng betul-betul tidak yakin.
Ternyata ia masih takut hubungan mereka akan ditentang keluarganya.

Aku jadi tertegun.
“Ji, nanti gue telepon elo lagi kali ya.”
Alasan klise kuberikan padahal aku hanya ingin berpikir.

Dalam any given relationships, perbedaan akan menyakiti paling sedikit satu orang.
Dan dalam hal ini, Oji yang paling merasakannya.

Oji telah berkelana dari satu pria ke pria lain. Dan selama ini ia belum pernah berani mengambil resiko untuk membina hubungan dengan pria yang tidak seiman dengannya.
Namun kali ini, ia betul-betul terjebak dengan seorang pria yang berbeda. Suku maupun kepercayaan.
Dan Oji mau mengambil resikonya. Namun Swang Heng tidak.

Apakah dalam hubungan ini Swang Heng tidak mau kompromi? Dia yang memulai segalanya. Dia pula yang kembali ragu-ragu. Kalau begitu, kenapa dia berani memulainya?
Apakah dia berpikir Oji akan berkorban demi dirinya?
Apakah dalam hubungan singkat itu Swang Heng berharap Oji akan dengan mudah melepaskan seluruh kepercayaannya untuk dapat bersama dirinya?

Apakah itu kompromi? Dan apakah itu pengorbanan?

Oji bersedia kompromi dengan menjadi hubungan gelap Swang Heng. Namun tentunya ia tidak akan mengorbankan agamanya demi pria itu.
Sedangkan Swang Heng, ia takut untuk memulai. Memulai sesuatu yang akan terlalu berat untuk dilanjutkan, dan terlalu pedih untuk diakhiri.

Mungkin bagi Oji dan Swang Heng, hubungan ini sudah berakhir.
Tapi seharusnya hubungan ini baru dimulai dengan segala kesulitannya.
Karena mereka sudah menyerah sebelum berperang.

Dan mereka tidak akan menemukan kebahagiaan mereka.
Ataupun belajar dari kesedihan.

Friday, March 11, 2005

Awal...

Ternyata menulis itu tidak mudah.
Apalagi menulis dalam bahasa sendiri.

1 komputer kecil, 1 telepon (untuk sambungan internetnya tentu...), 1 rim kertas, dan 1 pensil mekanik ternyata tidak cukup.
Memang, yang diperlukan adalah ide. Dan 1 kepala untuk mengolahnya.

Hmm, dari mana datangnya ide?
Dari langit kah?

Buatku mungkin dari duduk-duduk sambil mengopi.
Melihat sliwar-sliwer orang-orang.
Mendengarkan keluh-kesah dan cerita-cerita sahabat.

Dan sekarang, aku mau menuangkan semuanya.
Semoga cukup untuk bekalku menjadi penulis nanti...